Selasa, 06 Desember 2011

Problematika Sistem Pendidikan Korea (Yang Sedikit Banyak Diikuti Indonesia)

Problematika Sistem Pendidikan Korea (Yang Sedikit Banyak Diikuti Indonesia)

Oleh : Fajar Sastrowijoyo


Korean studying ==> from nytimes.com
Keyword : Permasalahan Pendidikan
Tulisan ini sebenarnya dibuat karena saya mendapat info akan ada suatu lomba menulis tentang pendidikan Korea dan Indonesia, tapi saya lupa melihat batas waktu dan ternyata terlambat. Daripada mubazir, saya posting saja di sini :)
Saya sudah tinggal di Korea selama lebih dari 1 tahun, dan dari pengamatan saya terhadap sistem pendidikan Korea, ada banyak hal yang menurut saya menimbulkan problem  dan masalah tapi masih diterapkan dalam pendidikan Korea. And believe it or not, saya menjumpai bahwa masyarakat kita (Indonesia) juga mulai mengarah ke situ perlahan-lahan. dan  Kita langsung mulai dari :


Cram school



Cramming ==> from clipartof.com

Pernahkah Anda diberi beban belajar yang sangat banyak dengan waktu yang sangat singkat untuk menguasainya sehingga membuat anda berpikir tidak mungkin mencoba mengerti semuanya dalam waktu singkat dan berkata, “F*** this, this is too much, OK I’ll not try to understand and I’ll just memorize.”
I think there’s one point in our life when we think like that, except you’re a genius, an idealist, or you never study math.
This phenomenon is so serious in Korea, with an ever increasing demand of knowledge absorption. Mereka menghafal rumus2 dari yang mudah sampai yang susah sekalipun. Ujian nasional (수능시험) yang menanyakan terlalu banyak pertanyaan dalam sedikit waktu memaksa mereka mengerjakan semua soal secepat mungkin.
Menghafal rumus adalah salah satu trait penting di sini menuju sukses ujian nasional. Mungkin menghafal beberapa rumus sederhana tidak menjadi masalah, namun mereka juga menghafal rumus2 penurunan; kebiasaan ini berlangsung sampai  universitas juga. Beberapa teman saya di kampus sampai menghafal freakin’ Laplace and Z transform tables!!! If you’re not an engineering student, I’ll tell you, that thing is the basis of many engineering fields and is freakin’ difficult if you try to memorize.
Mereka menghafalnya karena mereka tidak punya cukup waktu untuk mengerti konsep tersebut karena beban belajar mereka terlalu berat. Namun dengan menghafal, mereka tidak mengerti konsepnya sehingga ketika dihadapkan pada permasalahan lain yang konsepnya sama, mereka tidak dapat menyelesaikannya.
Now if you tell me this doesn’t ring a bell or this isn’t happening in Indonesia, I’ll ask you where you live this past 10 years. Permasalahan pemahaman konsep yang sedikit banyak disebabkan oleh penghafalan mati tanpa pemahaman begitu serius di Indonesia sampai universitas tempat saya belajar dulu mengalokasikan waktu 1 tahun penuh untuk mengulang pelajaran SMA dengan cara pengajaran yang seharusnya sebelum mahasiswa masuk ke dunia universitas yang sesungguhnya agar kami paham. Thanks for that, Ganesha ^^

Overstudying


Again, this is caused by expecting children to absorb too many materials.
Dengan beban belajar yang sangat banyak, muncullah bimbel2 (학원:hagwon) di Korea yang dalam promosinya menawarkan peningkatan kemampuan dalam waktu singkat dengan cara memberi bermacam2 solusi cepat dan solusi cepat menghafal (sounds familiar?).
Bagi yang merasa bahwa bimbel2 di Indonesia sudah terlalu menyimpang dari tujuan pendidikan yang sebenarnya, meet Korean after school class.



Bagi yang tidak mengerti bahasa Korea, gambar tersebut adalah jadwal dari sebuah bimbel di Korea untuk anak SMP dan SMA, courtesy of James Turnbull. Hal pertama yang Anda baca pasti waktu nya, dan jika Anda mengira itu pagi hari (AM), Anda SALAH.

Those times are during PM, means the last class finished 20 minutes after midnight.

Detail dari waktunya adalah :
  • Anak berumur 13 dan 14 tahun mulai kelas pada pukul 5:50, mengambil dua kelas 60 menit dan satu 70 menit dan pulang ke rumah jam 9:30. Sesampai di rumah, mereka masih harus mengerjakan PR dari sekolah dan dari bimbel.
  • Anak usia 15 tahun mulai pada pukul 7:06, mengambil satu kelas 60 menit dan dua 70 menit, selesai pada pukul 10:55 and getting a hell lot of homework to do.
  • 16 year-olds, 17 year-olds, 18 year-olds, now at high school, start at 9:45pm, have two 70 minute classes and finish at 12:20am, then have even more homework to do.
  • Dan ada kelas Sabtu, dan ini dilakukan walaupun beberapa sekolah memberlakukan setengah hari masuk untuk siswa. So basically there’s no Saturday break. And for education hungry mothers, they will send them to Sunday school as well.

Silakan terkejut dan kesal dan marah dan berteriak-teriak tentang child abuse. This is normal in Korea. Anak umur 13 tahun mungkin tidur tengah malam dan bangun jam 7 pagi keesokan harinya? Normal. Di Korea, jika Anda tidak mengikuti hagwon, Anda akan dianggap bodoh atau aneh. On top of that, these hagwons spend 4% of NATIONAL GDP every year. Yeah. Bimbel menghabiskan 4% dari PDB Korea.
Hal yang baik adalah, hampir semua orangtua sebenarnya tidak suka mengirim anak2 SMP sampai larut malam, namun mereka dipaksa oleh tuntutan dari sistem pendidikan nasional yang terus meningkat.
This thing reminds me that in Indonesia, nowadays parents send their children to so many extra lessons sejak mereka dapat berjalan. Dan itu dilakukan dengan keinginan sendiri tanpa tuntutan dari pihak manapun. Mereka mengirim anak2nya dengan keinginan sendiri. Saya ada beberapa kenalan dan saudara yang mengirim anak2 usia TK ke berbagai macam pelajaran ekstra seperti bahasa Inggris, Mandarin, biola, menyanyi, beladiri, piano, balet, dan mungkin piano sambil balet. When can they play like a normal child????



It’s real. No joking here.

Stereotipe Bidang Studi / Jurusan


Sama seperti di Indonesia, Korean parents and teachers biasanya mendorong anak-anak mereka untuk menjadi seorang dokter atau insinyur dari kecil. Status sosial dan uang biasanya menjadi alasannya. Dorongan tersebut sangat kuat di sini sampai semua orang akan berdecak kagum apabila pacar Anda adalah seorang insinyur/dokter. Hal ini disebabkan oleh dorongan terus menerus dari guru-guru dan masyarakat.
Di Korea hal ini sudah sangat lazim dan terkadang mereka tidak merasa bahwa hal ini adalah sesuatu yang aneh dan seharusnya tidak terjadi. Beberapa teman Korea saya bahkan mengatakan bahwa memang dia tidak bisa mengikuti impiannya, tapi mungkin seharusnya tidak usah dilakukan sama sekali. Mereka juga akan mendorong anak-anaknya untuk mengambil bidang2 yang berstatus sosial tinggi dan menghasilkan banyak uang.
Menurut saya ini sebuah tindakan yang kurang baik. Coba bayangkan apa yang terjadi apabila orang tua Valentino Rossi menyuruhnya menjadi dokter, atau orang tua Mozart menyuruhnya menjadi insinyur. Bayangkan kekacauan besar yang terjadi.


Well, his nickname is The Doctor, though => from http://www.polsenglishblog.blogspot.com/

Children should be able to choose their own interests and passion. Only then they will utilize their ability fully. Well, saya yakin banyak yang setuju dengan hal ini sekarang, Tetapi mungkin tidak ketika kita nanti sudah menjadi orangtua atau pengajar. Let’s see how many of us force our children to be engineers and doctors later.

Over-education


This problem might be bigger than the others. Korea Selatan telah menjelma menjadi sebuah negara maju, dan hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh keinginan belajar di jenjang yang lebih tinggi setinggi mungkin. Namun hal ini telah menjelma menjadi sesuatu yang sedikit mengerikan.
Menurut sebuah survei, 82% penduduk Korea Selatan mengikuti tertiary education (universitas, college, dll). Mungkin beberapa dari kita berpikir ini adalah hal yang baik. Namun ternyata ada efek domino yang lebih parah dari hal ini.
Dalam artikelnya, Oliver dan Kang[2] menggambarkan bahwa Korea Selatan mempunyai tukang roti yang paling terpelajar di dunia. Di sebuah kelas keterampilan membuat roti di Seoul yang mengajarkan pembuatan muffin, ada lulusan bahasa Rusia, seni, bahkan animasi. Mereka terpaksa mengikuti kelas keterampilan karena tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka. Setelah mereka menjadi tukang roti, hilanglah sudah uang yang mereka pernah hamburkan untuk pendidikan S1 mereka.
Still don’t get the picture? Bayangkan sebuah dunia di mana Anda harus mempelajari integral kompleks dan mekanika kuantum untuk menjadi pekerja tambang batu bara. Imagine the money that should be well spent on something else than the needless education too.

Indonesia belum mencapai taraf tersebut, namun jika kita jeli melihat berita, kita akan tahu bahwa kita memiliki lulusan S1 lebih banyak daripada D3, dan bahwa lebih banyak lulusan S1 kita yang menganggur dibandingkan dengan lulusan diploma karena tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Yang paling parah, rasio lulusan SMA dan SMK adalah 50:50!! This means we have more thinkers than workers! Totally wrong! Ini adalah hal yang sangat buruk bagi sebuah negara berkembang, yang masih membutuhkan banyak sekali tenaga kasar.
Dibandingkan dengan Korea Selatan yang sekarang sudah maju dan menjadi negara kaya yang melakukan berbagai macam pekerjaan kasar dengan otomatisasi (baca:robot), Indonesia masih membutuhkan jutaan tenaga kerja kasar untuk menunjang industri padat karya nya, dan kurang membutuhkan lulusan S1, terutama di bidang2 “yang tidak terlalu menghasilkan”, because, hey, we don’t have enough money!!!


You know you need money to make this as well, right? (Girl’s Generation  from koreanbeacon.com)

Sangat jelas bahwa dengan uang yang sedikit, pemerintah akan menggunakannya dengan hati2 untuk memberi modal kepada perusahaan, pabrik atau konstruksi fisik, not on research, especially not-generating-money research. Padahal kita tahu bahwa pekerjaan yang paling mungkin bagi bidang seperti filsafat, sejarah, seni, antropologi dll adalah menjadi researcher, atau dosen. Itulah sebabnya di negara2 maju bidang2 tersebut tetap menghasilkan, karena mereka punya dana ekstra yang dapat dikucurkan ke bidang2 tersebut.
Sepertinya tidak semua orang mengerti bahwa tidak semua orang ditakdirkan menjadi Einstein atau Habibie atau Chairil Anwar. Kalau sebuah negara mempunyai Einstein dan Habibie lebih banyak daripada Tono, Tini dan Budi, negara itu pasti hancur.
Namun dengan stereotype yang berkembang saat ini bahwa sebisa mungkin kita harus menjadi sarjana S1, entah apapun bidangnya, bukan tidak mungkin kita suatu saat akan mempekerjakan lulusan Sastra Bahasa Alien sebagai tenaga kasar di pembangunan jalan tol.


Or stuntman that deals with aliens in the movie ==> from onlygoodmovies.com
SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL!!! \^^/
Fajar Sastrowijoyo
CBNU, Korea
Alumni Elektro ITB
Sumber:
[1] http://thegrandnarrative.com/2007/07/03/the-korean-education-system-and-its-consequences-for-adults-intro-part-1/
[2] C. Oliver, B. Kang, “S Korea faces problem of ‘over-education’,” www.ft.com
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Education_in_South_Korea
[4] http://internasional.kompas.com/read/2010/09/23/16473632/1.142.751.Sarjana.Siap.Jadi.Penganggur
[5] http://www.diknas.go.id/downloadx/1257487795.pdf
[6] http://www.kemdiknas.go.id/media/213881/index_pt_0809.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar